Aranda

Dengan pujian,
Menamatkan studi master dalam jangka waktu 2 tahun dengan IPK 3.96
Serta memperoleh prestasi sebagai pembicara muda dalam simposium Fisika Kuantum Internasional di Glasgow,
Gema Atmojo!

***

Gemuruh tepuk tangan tidak lagi bisa menyembunyikan betapa hebatnya satu manusia yang sedang berjalan perlahan menuruni panggung itu. Tidak ada yang menyadari bahwa apa yang mata mereka perhatikan sekarang tak lebih adalah kumpulan kepedihan yang akhirnya terbalaskan sejak kecil.

Seperti biasa Gema selalu tersenyum, tak lebih tak kurang ketika orang-orang menyelamatinya atas jejeran indeks yang dari ujung keujung hampir sama semua mengeja huruf A atau karena suaranya yang lantang menyampaikan tesisnya dan membuat picak kagum satu ruangan symposium di Glasgow 3 bulan yang lalu atau hanya karena berberapa baris kalimat pidato super yang baru saja disampaikannya 3 menit yang lalu. Tepuk tangan yang sangat panjang bergemuruh.

Kau tahu kekuatan apa yang paling kuat nak? Yaitu senyum. Semua kepedihan dan rasa sakit yang menjerat kita akan sempurna menghilang. Kau hanya perlu tersenyum dan hadapi , kalau perlu tantang dunia ini dengan senyummu.

"Aku berhasil ayah, Ibu, aku berhasil," Batinnya mengucap.

Lelaki itu tidak berlama-lama berada di dalam gedung itu. Ia segera melangkah keluar. Ia tahu, berada lama didalam hanya membuatnya makin hancur. Untuk apa dia menyaksikan beribu kebahagiaan keluarga utuh. Untuk beribu tugas, untuk beribu malam suntuk dalam penelitiannya, untuk beribu kritikan professor dan untuk berlatih  menjadi pembicara dengan bahasa asing akan lebih mudah untuk ia hadapi dibanding menyaksikan kebahagiaan satu keluarga utuh. Semuanya cukup dengan kekuatan senyuman. Sudah cukup lama dia menahan, dan akhirnya tetes pertama air matanya bergulir di pipinya, sesaat setelah ia kabur perlahan keluar dan sempurna berdiri menatap horizon kota dengan bangunan-bangunan tinggi beserta permukiman yang tidak selaras dengan mewahnya gedung-gedung tinggi. Itu hobinya, bermenung, di balkon di lantai paling atas.

Aku takkan menangis ibu, akan selalu tersenyum.

***

Sementara di didalam ballroom, dengan sebuket bunga mawar merah, wanita ini celingak-celinguk mencari lelaki yang telah 18 tahun bersamanya dan dipertemukan di Rumah Belajar Bunda, panti asuhan kecil di pelosok kota. Penat ia mencari Gema.
Ia ingin cepat-cepat bertemu menyampaikan berita terbaik dalam kehidupan Gema.

"Baru 5 menit hilang dari pandangan, sudah menghilang saja kamu bang," Ucapnya pada Gema lembut. Tidak susah mencari Gema, wataknya sudah di luar kepala, Aranda sudah hapal gelagat Gema.

Gema terkejut. Segera menyeka matanya. Berusaha menghapus jejak imajinya mengenang 24 tahun perjalanan hidupnya.

"Abang bisa saja menjadi tokoh fisika terkenal, penemu handal, atau apalah itu, tapi abang tidak pintar dalam menyembunyikan kalau abang barus saja menangis bang. Seperti anak kecil saja, hahaha," Ucap Aranda sambil terkekeh.

Gadis ini tentu saja orang yang paling tahu tentang gema.

Apapun.

Bagaimana tidak, sejak umur 5 tahun Aranda sudah bersama-sama dengan Gema. Dipertemukan di panti asuhan yang sama. Hanya Aranda yang tahu tentang Ayah Gema yang meninggal di tempat di hari paling suram bagi Gema, kecelakaan tabrak lari itu. Aranda tahu bahkan jika di saat akhir ibu Gema tidak mendorong Gema menjauh dari jalur mobil tersebut, mungkin Aranda tidak akan pernah bertemu dengan Gema, orang yang menjadi semangatnya, gurunya, abangnya, motivatornya. Semua dulu diceritakan Gema tanpa beban, hanya kepada Aranda. Gema sagat mempercayai Aranda.

Gema adalah cahaya bagi Aranda. Setidaknya dia merasa Gema yang lebih perih perjalanan hidupnya, karena bagi Aranda yang tidak pernah mengenal Ibu dan Ayahnya, kehilangan orangtua pada saat kanak-kanak bakal lebih menyedihkan.

Aranda tidak perlu repot-repot terbangun di tengah malam suntuk dan mengusap dahi karena keringat yang mengucur di saat mimpi-mimpi buruk datang menerjang, setiap malam, seperti Gema. Tidak pernah absen reka ulang hari itu di mimpi Gema.

Percayalah, itu sangat berat sekali, dan Aranda tahu sekali itu.

"Ini aku bawakan bunga buat abang. Selamat ya bang! Aku bangga sama Abang!"

Gema hanya terdiam, tersenyum sedikit lebih lengkung daripada senyum biasa yang ditunjukkannya kepada orang kebanyakan. Hanya Aranda yang bisa membuat lengkungnya lebih besar berberapa derajat. Tapi tetap saja buket bunga Aranda tidak berasambut. Bibirnya kelu, ingin mengatakan sesuatu tapi ragu.

"Bang?"

"Apakah kamu pernah berfikir dunia ini begitu lucu?” Kata-kata itu sudah tak tertahan lagi, mengucur lembut namun dalam. Suara yang merasakan begitu banyak penderitaan. Kesedihan. Gema bersiap melempar pertanyaan baru saat Aranda memotong pembicaraan ini, karena ia jelas tahu kemana maksud Gema berbicara.

"Bang, please jangan bang. Cukup," tegas Aranda

Gema tersentak, dan menghela napas, "Maaf Aranda, abang tidak bermaksud…"

Aranda tahu sekali gelagat Gema barusan. Gema akan mulai berbicara yang tidak-tidak tentang hidupnya. Gema suka sekali memandang dunia dengan perspektif sempit. Dia menganggap meninggalnya Ibu dan Ayah adalah kesalahan dia. Pria dengan titel ganda dan belasan terbitan jurnal internasional ini masih saja berfikir, andai saja aku tidak meminta macam-macam, atau, andai saja aku tidak meminta Ayah mengajakku ke pusat wahana itu, andai saja aku ini-itu.

Bodoh.

Ya, dengan kondisi ekonomi yang tidak cukup baik saat itu, sebenarnya kehidupan Gema sudah bisa dibilang sangat bahagia. Memiliki ayah dan ibu yang sangat sayang kepadanya sudah lebih dari cukup untuk membuat Gema bahagia. Namun, karena iklan komersial wahana 30 detik yang tak sengaja di saksikannya dari tv, tepat di etalase toko di sudut jalan, Gema sebagaimana anak berumur 6 tahun, memaknai pusat wahana tersebut sebagai surga bermain tanpa batas. Kau tahukan perasaan-perasaaan seperti itu? Anak mana di dunia ini yang tak tergiur oleh iklan komersial 30 detik itu. Bergalon-galon air yang di’jatuhkan’ dari ember besar yang telah terisi penuh, kendaraan berbentuk kereta tak beratap yang melaju di atas rel dengan kecepatan yang sangat tinggi naik dan turun, jet yang akan mengangkat manusia dengan sangat cepat ke ketinggian 150 kaki, siapa yang tidak mau?
         
“Aranda mengerti bang. Tapi mungkin ini saatnya abang berhenti menganggap abang itu seolah-olah manusia paling menyedihkan. Tapi tidak bang, abang punya banyak hal yang patut disyukuri. Kalau abang punya kalkulator, mungkin ini saatnya abang menghitung berapa banyak orang yang sangat bangga terhadap abang di dalam ruangan sana, si pemuda jenius Indonesia, yang sudah mengecap bangku kuliah sedari umur 15 tahun, yang katanya perwujudan dari 10 pemuda bung karno, yang katanya ini dan itu. Please bang, Abang seharusnya mulai bersyukur,” Kalimat Aranda beserta senyum mungilnya sudah mulai terdengar lucu bagi Gema. Gema sering sekali mendapat pujian ini dari Aranda. Seperti: abang hebat sekali bisa masak, abang hebat loh bang bisa mengajari adik-adik panti, sepertinya Aranda harus belajar dari abang ya cara membujuk bunda kita. Tentunya tidak lupa diakhiri dengan senyum mungil Aranda di setiap pujian. Gema selalu berakhir tersenyum jika dipuji Aranda. Termasuk hari ini.

“Dan asal abang tahu saja, kalkulator abang tidak bisa menghitung seberapa besar kebanggaan Aranda terhadap abang,” Sempurna sudah lengkung bibir tipis Gema dan mulai terdengar tawa kecilnya. Aranda selalu saja mudah mengubah suasana hati Gema.

          Mereka berdua tertawa. Ya, masa suramku seharusnya sudah habis. Mungkin jika Aranda bisa mendengar kata batin Gema barusan, Aranda akan sangat senang sekali.

          Suasana menjadi hening sesaat setelah tawa mereka memudar. Tersisa senyum yang tidak memudar. Hari ini tidak begitu buruk Ibu, Ayah.

Aranda melihat jelas-jelas bola mata Gema. Sangat menawan. Aranda berfikir, mungkin ini saatnya menyampaikan berita terbaik yang mungkin terjadi dalam kehidupan Gema.
         
“Abang ingat janji Aranda mau memberi abang hadiah hari ini?”

Setelah mengingat dalam waktu sepersekian detik, “Ya, apa hadiahnya?”

“Hadiahnya, adalah…” muka Aranda bersemu merah, acap kali terjadi ketika ia malu atau mendapat pujian dari Gema. Gema menunggu sepersekian detik dan meloncat kegirangan setelah Aranda mengatakan,

“adalah… ‘ya’ Aranda mau.”
         
          Ya.

          Di saat itu suara yang muncul di kepala mereka berdua hanya suara detak jantung yang saling berpacu. Tak mau kalah menunjukkan siapa yang lebih gugup sekaligus senang saat bersamaan. Seperti detak yang satu berkata do you feel I am beating so fast? – yes, so am i.
Tak payah isi kepala Gema mengartikan ‘ya’ Aranda adalah jawaban dari ‘will you marry me’-nya Gema 3 minggu yang lalu. Gema tak mengerti alasan Aranda menunggu selama ini, tapi Gema merasa ini hadiah yang sangat indah yang diterimanya dari Aranda.

“Sekarang, kalkulator abang mungkin juga tidak bisa menghitung besarnya cinta Abang pada Aranda,” Entah mengapa, kalimat barusan tidak terasa begitu kosong, tapi terdengar sangat tulus. Tentu saja Aranda tertawa mendengarnya, untuk sesaat.

          Senyum kedua manusia ini lalu melengkung dalam diam. Kali ini Gema yang melihat mata Aranda lekat-lekat. Mata yang akan dilihat nya sepanjang hidupnya, mata yang akan menghapus lukanya, mata indah yang akan diwarisi anak-anaknya. Sungguh, hadiah ini sangatlah spesial bagi Gema.

          “Terimakasih.”

Pelukan Aranda sempurna sudah menghapus luka Gema.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagiku, kau adalah sebuah kemewahan

Untitled

Aku bertanya pada kopi