Puisi untuk Mawar
Alhamdulillah, liburan pseudo udah datang. Udah bisa balik nulis dan banyak sekali keinginan untuk nulis lagi sejak post terakhir. Cuma ya karena kena tampar nilai ujian pertama kalkulus, sedikit tersadar bahwa banyak prioritas utama yang terabaikan.
Aku bukan penyair
Tapi aku pernah membuat sebuah puisi.
Ini kejadiannya bulan puasa tahun lalu. Jelas sekali saat satu persatu anak Marshal (red: nama generasiku di SMAN PLUS) mulai diterpa nestapa rindu, rindupun tidak mengecualikanku. Ada sesosok makhluk yang kurindukan dan takkan pernah pula merasa kurindukan.
Aku menyukainya sejak lama.
Tidak ada yang tahu aku menyukainya sejak kelas 1 sma.
Sadar atau tidak sadar pun, banyak sekali cara yang kulakukan untuk mencari kesibukan lain selain mengharapkannya. Karena angan dan mimpi yang terlihat di mataku jelas sekali jauh. Jauh dari kenyataan.
Sialnya, aku manusia terlemah. Tak pernah pandai menyembunyikan rasa. Setelah setahun lebih menyimpan sendiri harap-harap itu, aku mengutarakannya.
Aku mengutarakannya pada matanya langsung, tanpa pernah mengharapkan apapun selain satu hal, mengetahui apa pula yang dia rasakan.
Karena aku tahu, ini akan jadi penyakit jika terus-menerus disimpan dalam-dalam.
Nihil.
Harapan aku satu-satunya tak terlengkapi, dia tak pernah sekalipun jelas mengatakan apa yang dia rasa sama atau tidak. Tidak sekalipun
Aku benci mengandai-andai.
Aku benci, setidaknya dia bilang "Tidak!" saja padaku, akhiri semuanya, pecahkan saja harapku, peras air mataku, tampaknya itu lebih baik.
"Lakukanlah." Batinku selalu mengucap dalam diam saat aku beradu pandang dengannya.
Tapi,
Ia tidak pernah melakukannya. Sampai sekarang.
Aku dan dia lulus setelah 3 tahun bersekolah. Bersama.
Cukup.
Tidak ada lagi cinta-cinta batinku berucap.
Benar saja itu semua palsu,
Gimana bisa rasa yang terpupuk selama tiga tahun hilang begitu saja?
Bagai manusia kesetanan, aku genggam handphoneku sore itu. Karena setelah 3 tahun, sekali lagi aku ingin tahu jawabnya.
Ku cari namanya, tak susah.
Tut... tut...
Ga diangkat.
Puh, kucoba lagi.
Tut... tut...
"Halo, kenapa fin? Aku lagi di luar tadi."
***
3 jam.
Aku menelfonnya selama 3 jam.
Dan kau tahu?
DIA TAK SEKALIPUN JELAS MENGATAKAN IYA ATAU TIDAK.
aku sudah lelah.
***
Ini puisi untukmu wahai wanita. Satu jam sebelum aku genap mengumpulkan niat untuk menelfon mu untuk yang pertama kali dan terakhir dalam kehidupanku 18 tahun itu, aku menulisnya. Mencari alasan, kenapa aku harus mengumpulkan niat menelfonmu. Mencari pembenaran atas rindu-rindu berkepanjangan, dan tak tersampaikan. Aku menggenggam sisa-sisa alasanku menyukaimu. Dan menulisnya di secarik kertas, dari Bandung khusus untuk mu. Entah untuk penderitaan atau entah karena kobaran semangat karena senyum 2 detikmu.
Aku Tahu
Aku tahu, selalu tahu
Semburat sinar bulan selalu tenggelam di wajahmu
Pasti Tuhan berbaik hati menitipkannya
Aku tahu, selalu tahu
Matamu tak pernah mengobarkan amarah
Selalu meneduhkan, selalu menentramkan
Yang kau tak pernah tahu
Akulah karang, bertahan diderai ombak
Menunggu mawar sepertimu, tumbuh diatasnya
Kau fikir
Mawar tidak akan tumbuh di karang
Tapi, kita semua selalu tahu
Keajaiban selalu menyapa di penghujung waktu
Merangkul mereka yang putus asa
Untukmu,
Tak perlu merpati putih mengepakkan sayapnya
Tak perlu bintang gemintang berbaris mengucapkannya
Tak perlu desau angin beraturan menyampaikannya
Ku tahu, kau akan segera tahu.
Puisi ini dibuat di Bandung. Pada bulan Juli 2014.
Dibuat untukmu.
Komentar
Posting Komentar