Lelah Menduga
Apa yang ingin ku coba
lakukan dengan menulis disini adalah atas saran seorang teman dekatku di kampus
sesaat setelah aku menangis padam melewati telepon genggam dengannya. Aku sedang
bergulat berberapa waktu terakhir dengan rasa gelisah akan kehilangan seseorang
yang benar-benar aku sayang (lagi). Untuk memulainya aku ingin menceritakan
cerita singkat tentang ibuku dan aku dulu saat masih SMP.
Aku waktu itu masih kelas
1 SMP, atau kelas dua, aku tak terlalu ingat. Yang ku ingat adalah apa yang
terjadi saat itu. Selesai pulang sekolah, aku menunggu mama untuk menjemputku
disekolah, dan aku duduk pelataran teras sekolah bagian depan. Satu persatu
teman-temanku dijemput dan meninggalkan aku sendirian dalam pikiran ‘kenapa
mama lama sekali?’ sudah satu jam lebih setelah aku telepon mama dan mama
bilang ‘yalah’. Singkat tapi jelas, karena rutinitas ini dilakukan setiap hari,
dan mama pasti tau bahwa tujuan aku menelepon adalah untuk menjemput karena aku
cuma bilang ‘ma, udah pulang’. Setiap hari sebelum itu dan setiap hari sesudah
itu, itu adalah percakapan kami tentang sudah selesainya aku sekolah dan ingin
dijemput. Tapi mama sudah 1 jam terlambat. Seharusnya jarak dari rumah dan
sekolah di jam segini hanya akan menghabiskan waktu 15 menit, dan ini sudah
satu jam. Apa yang terjadi di perjalanan?
Mama tidak tabrakan kan? Apa dia jatuh dari motornya? Mama kemarin dia pusing
katanya. Mama katanya gulanya naik kemarin. Sudah sembuh atau belum ya? Dimana mama?
Satu paket pikiran bersambung memenuhi kepala. Aku suka mengait-ngaitkan hal
hal tertentu. Aku suka karena aku merasa diriku cukup pintar untuk mengaitkan
premis-premis dan menarik kesimpulan. Tapi waktu itu aku belum sadar ternyata
cara aku berpikir terlalu jauh, I overthink on everything do not run out of the
plan.
Aku menangis. Sendirian di
pelataran teras sekolah. Aku takut mamaku tabrakan di tengah jalan, dan dengan
kebiasaannya yang jarang membawa hp kemana-mana, meneleponnya menjadi hal yang
sia-sia. Aku terus-terusan menunggu dan kesal kenapa mama tidak mengangkat teleponnya.
Kekesalan berubah lagi menjadi tangisan yang aku tutupi biar tidak ada yang
melihatku menangis. Walaupun aku menangis, aku tidak ingin ada yang melihatku
menangis. Malu. Setiap ada yang lewat aku usap air mataku dan diam seperti anak
SMP kebanyakan ketika menunggu orangtuanya menjemput. Ketika tidak ada yang
lewat aku kembali menangis lagi. Tidak bersuara tapi air mata terus meleleh dan
rasanya sesak di dada.
Mama datang, aku hampiri ‘kenapa
mama lambat kali?’ ku pukul sedikit punggungnya saat aku naik ke jok belakang
motor beat mama. Tentunya pukulan bahagia sekaligus lega karena apa yang
kupikirkan tidak satupun kejadian. ‘Tadi mama masak’. Okay.
Apa yang baru kusadari
saat Ibu Adek –guru dan tempat berkeluh kesahku- mengatakan aku itu terlalu
lebay adalah dia sangat benar. Cerita di atas adalah cerita paling awal yang
kuingat bahwa benar, aku ini berlebihan dalam berpikir. Aku terdiam sejenak
saat chat Bu Adek sampai di layar
kaca ku. Aku seperti terbangun menyadari hal yang seharusnya telah kusadari
sejak lama. Setelah cerita terlambat dijemput itu, banyak cerita lain yang
terjadi sama persis dengan yang terjadi saat itu. Dimulai dari aku
mengekspektasi kan sesuatu, lalu diikuti dengan indikasi tidak akan terjadinya
ekspektasi tersebut, pikiran-pikiran dan analisis buruk muncul di kepala,
jantung berdetak kencang seiring adrenalin meningkat dan ditutup dengan
menangisnya aku. Tentu tidak banyak yang melihat. Malu. Sembunyi diam-diam aku
menangis walaupun diakhir ekspektasi tersebut terwujud (terkadang juga dalam
bentuk yang lain).
Aku malu, aku sangat
emosional.
***
Kini aku bergelut dengan
perasaan itu setiap hari. Aku merasa tidak dicintai lagi olehnya. Aku jelas
mencintainya dalam banyak cara dan kebodohanku kadang membuat itu semua terlalu
jelas. Mungkin dia terpapar terlalu banyak cinta dan aku tak tahu kenapa aku
merasa aku tidak disayangi, tidak dijadikan prioritas. Aku merasa dipedulikan
dalam dosis yang sangat sedikit. Aku merasa bahwa aku sangat menyedihkan.
Satu kata untuk
menyimpulkan paragraf diatas kalau kalian ditanya di ujian Bahasa Indonesia adalah
‘Merasa’. Aku menceritakan tentang terlambatnya ibuku menjemput di atas, karena
aku ingin kalian memahami tentang paragraf di atas. Aku sebenarnya tidak tahu. Mungkin
saja yang terjadi adalah hal-hal sederhana seperti masakan mama yang belum
selesai sebelum menjemputku. Aku ingin mengatakan bahwa betapa buruknya pikiran
yang terlintas di kepalaku tentang apa yang terjadi pada sikapnya kepadaku, aku
ingin kalian tahu juga bahwa mungkin itu hanya masakan yang belum selesai, atau
jemuran yang belum diangkat, atau gosokan yang tinggal satu bak kecil lagi. Aku
ingin kalian paham dan mengatakan kepadaku -kalau kalian bertemu padaku- bahwa
sikapnya itu adalah karena hal-hal sederhana atau kesibukan kecil yang
membuatnya seperti itu. Bukan seperti yang aku pikirkan.
Aku capek dan sedih
sendiri, sepertinya aku tetap harus bercerita kepada kalian agar aku tidak
jatuh ke lubang kelam dalam pikiran buruk sendiri tentang betapa nestapanya aku
karena hanya dibalas singkat, dibalas
tidak se’ramai’ dulu, tidak dibalas secepat yang dulu, tidak ditelepon sesering
dulu, tidak ditemani sesering dulu. Aku tahu bahwa sebenarnya selalu terjadi
hal sederhana, namun aku terlalu memikirkannya.
Setiap hari aku rindu
padanya, kesibukan yang kucari untuk mengalihkan hal tersebut tidak kunjung
kutemui. Rasa rindu aku terbakar setiap hari, menguras energiku dan diakhir aku
merasa tidak dirindui kembali. Merasa dan Merasa ini sangat membuat aku lelah. Aku
ingin ada didekatnya saja biar tahu yang sebenarnya dan tak perlu menduga hal
yang tidak pernah terjadi. Dari satu ribu km jaraknya sekarang aku sangat rindu
dan aku lelah, ingin bersamanya saja di Bandung.
Komentar
Posting Komentar